Rabu, 13 Juli 2011

SORBAN KIAI




TEPUK tangan menggemuruh. Setiap kali Faruq menjadi pembicara, sering mendapatkan aplaus yang meriah dari para jamaah yang mendengarkan khutbahnya. Maklum, dia memang seorang dai muda yang sedang naik daun di kotanya. Wajahnya tidak jarang juga sering muncul di layar televisi. Kepopulerannya ini ternyata juga berbanding lurus dengan pemahaman ilmu agamanya yang bagus. Bahkan, bukan itu saja. Suaranya juga tidak kalah bagusnya. Tatkala melantunkan ayat-ayat suci Alquran, dia ternyata mampu membuat merinding siapa pun juga yang mendengarkannya.

Seperti kali ini misalnya. Faruq sengaja mengutip Surat Qaaf (50): 16 di hadapan jamaahnya yang kebanyakan terdiri atas orang-orang penting, orang-orang elite, dan berdasi. Suaranya yang merdu, tinggi melengking, benar-benar membuat para jamaahnya diam terpaku. Merinding tanpa banyak kata.

“Walaqad khalaqnal insana wa na’lamu maa tuwaswisu bihi nafsuh, wa nahnu aqrabu ilaihi min hablil wariid….”

Luar biasa! Beberapa orang jamaah menitikkan air mata mendengar ayat-ayat Alquran yang dibacakan Ustaz Faruq.

“Artinya… Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya….”

Ustaz Faruq menghentikan bicaranya sebentar. Sekilas pandangan matanya menyapu pada segenap jamaah yang hadir di majelis taklim tersebut, lalu kembali dia melanjutkan bicara.

“Baiklah. Saya akan menjelaskannya. Sekaitan dengan ayat tersebut, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam kitab Jalalain menafsirkan….”

***

“Nggak ikut pengajian, Bang?”

Dua orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap menghentikan bicaranya sebentar. Mereka adalah Warik, seorang pedagang asongan yang biasa mangkal di seputar halaman masjid di mana Ustaz Faruq tengah mengisi pengajian. Seorangnya lagi adalah Parjo, seorang tukang parkir yang juga biasa mangkal di sana.

Keduanya kini sama-sama memperhatikan seseorang yang sudah berada di hadapan mereka. Dia adalah seorang laki-laki perlente yang mengenakan baju takwa warna putih lengkap dengan kopiah yang juga berwana putih melingkar di kepalanya. Laki-laki inilah yang tadi menyapa mereka.

“Apa kalian tidak tertarik untuk mendengarkan tausiah Ustaz Faruq?”

“Tertarik, sih. Tapi, bukankah sudah cukup kami mendengarkan tausiah Ustaz Faruq dari loud speaker masjid ini? Kan sama saja? Lagi pula saya kan lagi kerja, Bang Warik juga sedang jualan. Iya kan, Bang?”

Warik tidak menyahut. Dia hanya tersenyum.

“Iya, sih. Tapi, bukankah lebih afdal kalau kalian juga ikut hadir mendengarkan tausiah Ustaz Faruq di dalam masjid, kan?”

“Iya sih, Pak. Tapi….”

“Iya iya. Saya mengerti. Tentu Anda akan mengucapkan alasan yang sama seperti yang Anda katakan tadi, kan?”

Mendadak Parjo tersenyum. Salah tingkah. Pakai garuk-garuk kepala lagi.

“Oh ya, Bang? Saya mau beli air mineralnya satu.”

“Iya, Pak.”

Warik mempersilakan laki-laki itu memilih barang dagangannya.

“Kalau jadi dai seperti Ustaz Faruq itu enak ya, Pak?”

“Maksudnya?”

Parjo tidak langsung menjawab. Dia malah tersenyum lebar.

“Ya tentu saja enak dong, Pak. Katanya sih setiap kali habis mengisi acara pengajian tentu akan mendapatkan amplop. Tentu tebal. Kalau tidak, mana mungkin mau. Apalagi ustaz-ustaz yang sudah terkenal seperti Ustaz Faruq. Iya kan, Pak?”

Mendadak laki-laki itu mengerutkan keningnya tajam. Tampak sekali kalau dia sangat tidak menyukai ucapan Parjo.

“Maaf, Pak! Maafkan teman saya ini! Teman saya ini kalau bicara memang sering ngawur,” ujar Warik.

Namun, laki-laki itu sama sekali tidak memedulikan ucapan Warik. Dia malah semakin tajam memperhatikan Parjo. Parjo pun ngeper dibuatnya. Tanpa sadar, dia menyurutkan langkahnya ke belakang. Bersembunyi di balik punggung temannya.

“Saya mengerti jalan pikiran Anda, Bang. Dan juga barang kali pemikiran Anda!”

Kerlingan mata laki-laki itu tajam melirik Warik.

“Beliau kan ada timnya, ada manajernya, ada pula manajemennya yang mengatur semua jadwal beliau. Dan mereka semua kan harus dibayar,” ujar lelaki itu, sengit.

“Astaghfirullah!”

Parjo memekik kaget.

Warik juga tertegun. Ikut-ikutan kaget.

“Demi Allah! Saya benar-benar baru tahu kalau ternyata ustaz itu juga ada manajernya.”

“Iya. Memangnya mengapa?”

“Cuma heran saja, Pak. Kok kayak artis saja, ya. Memangnya Ustaz Faruq itu memosisikan dirinya sebagai artis ya, Pak?”

Dukkk!

Warik menyikut pinggang temannya. Parjo yang mendapat sikutan itu malah tersenyum.

“Mmmm… Maaf, Pak! Ssss… Saya kelepasan bicara….”

Laki-laki itu seperti mau marah.

“Sudahlah! Lupakan saja! Toh, percuma saja saya bicara dengan kalian.”

Laki-laki itu melangkah pergi. Tapi, baru saja dia melangkah, buru-buru dia kembali membalikkan badan.

“Dan satu hal lagi yang perlu kalian ketahui. Saya adalah manajer Ustaz Faruq.”

***

Siang terus berlanjut. Udara panas di seputar halaman masjid itu terasa semakin panas. Acara pengajian pun usai. Satu per satu jamaah pengajian di masjid itu mulai beranjak pulang. Parjo tak mau ketinggalan. Dia mulai sibuk mengatur beberapa kendaraan mewah yang ingin beranjak pulang di depan sana. Warik sendiri juga tengah sibuk melayani beberapa orang pembeli.

Pada saat ini, laki-laki perlente manajer Ustaz Faruq itu menuding-nudingkan telunjuknya jarinya ke arah Warik. Ustaz Faruq mengangguk. Mereka lalu ramai-ramai mendekati Warik.

“Mana temanmu yang tadi menjelek-jelekkan Ustaz Faruq?”

Warik yang sedang sibuk melayani beberapa orang pembeli terkejut. Di depannya kini telah berdiri Ustaz Faruq beserta timnya. Warik cepat tanggap. Di depan sana, dia melihat Parjo menyelinap di balik sebuah mobil.

“Maaf, Pak! Tidak bisakah kesalahpahaman tadi itu Bapak maafkan? Bukankah Allah itu juga…?”

“Jadi? Kamu mau menggurui kami? Apa kamu nggak malu menggurui kami di depan Ustaz Faruq?” sergap manajer Ustaz Faruq itu, gusar.

“Memangnya kamu tahu apa tentang agama?” sergap yang lainnya ikut-ikutan gusar.

“Iya, Pak. Saya memang tidak tahu apa-apa tentang agama.”

“Kalau nggak tahu, diam! Nggak usah berlagak pintar!”

Warik diam. Sama sekali tidak marah. Tetap tenang seperti tidak ada kejadian apa-apa.

Ustaz Faruq sendiri sempat tertegun memperhatikan ketenangan sikap pedagang asongan di depannya. Padahal, manajernya dan beberapa orang pengiringnya juga ikut-ikutan memarahinya. Di depan banyak orang lagi. Namun hebatnya, pedagang asongan itu tetap saja bersikap tenang. Tanpa sedikit pun dipaksakan. Melainkan ketenangan itu seperti mengalir begitu saja dari lubuk hatinya yang paling dalam. Penuh ketulusan dan keikhlasan.

“Sudahlah, Mas Priyo…!”

Hanya itu yang keluar dari mulut Ustaz Faruq. Manajer yang dipanggil Mas Priyo dan beberapa orang temannya itu seketika diam. Tunduk patuh.

Ustaz Faruq sendiri masih memandangi pedagang asongan di hadapannya itu penuh kagum. Binar-binar kedua matanya itu benar-benar seperti telah menyiratkan jiwa yang al insan al kamil.

“Maafkan sikap teman-teman saya, Pak!”

“Justru sayalah yang seharusnya meminta maaf, Pak.”

Ustaz Faruq tersenyum. Kekagumannya pada pedagang asongan di hadapannya pun semakin bertambah-tambah.

“Oh ya, Pak? Adakah sesuatu yang ingin Bapak sampaikan pada saya maupun teman-teman saya? Saran atau kritik maksud saya….”

Warik terkejut. Tidak menyangka kalau Ustaz Faruq akan berkata seperti itu.

“Tidak ada, Pak. Melainkan saya hanya masih ingin belajar banyak agar saya tidak lalai dari mengingat Allah, Pak. Dalam banyak hal….”

“Iya. Saya paham maksud Anda.”

Warik tidak berkata-kata lagi.

Ustaz Faruq juga tidak. Dia hanya berpamitan pulang bersama rombongannya.

***

Hari-hari berikutnya, Warik kembali berjualan seperti biasa. Tidak ada kejadian yang luar biasa, kecuali pada sore hari itu.

Mas Priyo datang menemui dirinya. Terburu-buru sekali dia turun dari mobilnya dan menemui Warik.

“Sungguh, saya heran sekali, mengapa bisa Ustaz Faruq sampai terkesan pada Anda.”

Warik diam. Tenang.

“Beberapa hari ini, Ustaz Faruq sering membicarakan Anda. Oleh karena itu, saya diutus beliau. Ustaz Faruq ingin sekali bercakap-cakap dengan Anda.”

“Ah! Pak Ustaz Faruq terlalu berlebihan. Saya justru sangat terkesan sekali dengan wejangan beliau yang mengutip ayat wa nahnu aqrabu ilaihi min hablil wariid. Maaf, Pak! Tolong bisa sampaikan pertanyaan saya pada beliau?”

“Mengapa tidak datang berkunjung saja ke rumah beliau? Kebetulan saya juga diminta menjemput Anda sekarang.”

“Insya Allah, lain kali saja, Pak. Tapi, boleh kan saya menitip pertanyaan pada Bapak?”

“Pertanyaan apa, Pak?”

“Sekaitan dengan ayat itu, Pak. Terus terang, saya sering sekali memikirkan ayat itu. Tolong sampaikan pertanyaan saya pada Pak Ustaz, ya Pak. Apa benar tempat yang lebih dekat dari urat leher kita di mana “Allah” bersemayam itu adalah di dalam hati kita? Apa benar ayat tersebut ada kaitannya dengan hadis Rasulullah yang mengatakan: Ingatlah, dalam tubuh manusia ada segumpal daging, bila ia baik, maka akan baiklah seluruh tubuh. Akan tetapi bila ia rusak, maka akan rusak pula tubuh itu seluruhnya. Segumpal daging itu adalah qalbu. Pertanyaan terakhir. Kalau ayat dan hadis tersebut dikaitkan dengan ikhtiar kita dalam mencari nafkah, apakah hal tersebut dapat mendatangkan rezeki yang bersifat min haitsu yahtasib atau rezeki yang sudah dapat kita duga arah kedatangannya, melainkan juga dapat mendatangkan rezeki yang bersifat min haitsu laa yahtasib atau rezeki yang belum kita duga arah kedatangannya, Pak? Kalau bisa, apa-apa saja yang harus saya lakukan? Itu saja pertanyaan saya.”

“Subhanallah! Insya Allah, akan saya sampaikan, Pak.”

“Iya, Pak. Terima kasih sebelumnya.”

“Iya. Sama-sama.”

“Oh ya, Pak? Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan pada Bapak.”

“Apa itu, Pak?”

“Ada seseorang yang menitip sesuatu untuk disampaikan pada Pak Ustaz.”

“Oh ya? Apa itu?”

“Sebentar….”

Warik merogoh sesuatu yang disembunyikan di dalam kotak besar yang biasa dia gunakan untuk berjualan rokok. Seketika Mas Priyo terbelalak melihat barang di tangannya itu.

“Sorban?!”

***

“Astaghfirullahal’adzim!!”

Ustaz Faruq terkejut setengah mati mendengar pertanyaan Warik yang disampaikan oleh manajernya itu.

“Lalu, apa lagi yang ditanyakan oleh pedagang asongan itu, Mas?” lanjutnya penasaran.

“Tidak ada, Ustaz. Dia hanya menyerahkan ini.”

Mas Priyo menyodorkan sorban dari Warik. Ustaz Faruq lagi-lagi memekik.

“Allahu Akbar!”

“Ada apa lagi, Ustaz?”

Ustaz Faruq terdiam. Lama sekali. Mas Priyo sampai kebingungan menghadapi perubahan sikap Ustadz Faruq.

“Sorban ini, Mas Priyo. Kau tahu, hanya ada dua orang yang memakai sorban ini. Yang pertama adalah Kiai Bestari, guruku. Kemudian yang kedua adalah santri senior yang paling dicintai guruku. Tapi sayang, aku belum pernah bertemu dengan santri kesayangan guruku itu.”

“Mengapa, Ustaz?”

“Dia pergi mengembara entah ke mana. Kata Kiai Bestari, dia ingin merenung, memikirkan ayat-ayat kauniyyah agar dapat menyerap betapa dalamnya ilmu Allah.”

Diam-diam Mas Priyo ikut-ikutan kagum.

“Kang Warik? Benarkah kau itu?”

Mas Priyo melongo.

“Ya, Allah! Sungguh, ternyata Kau telah mengirimkan seseorang untuk mengingatkanku agar aku tidak semakin lalai dari mengingat-Mu, ya Allah….”

“Siapa orang itu, ya Ustaz?”

“Pedagang asongan itu!”

“Hahhhh…?!” (*)



(Republika, 24 Oktober 2010)